Selasa, 01 Desember 2015

'Shadaqah Tanda Syukur'

Mendengar kata Shadaqah atau sedekah tentunya bagi saya yang seorang muslim sudah tidak asing lagi. Bagi kami orang muslim shadaqah adalah seseorang yang memberikan sesuatu dengan ikhlas dan bertujuan meminta ridha Allah. Dalam Islam pun tidak ada paksaan dalam jumlah nominal shadaqah, hanya keikhlasan yang diminta. Makanya terkadang fitrah manusia yang mempunyai sifat pelit selalu saja merasa berat ketika memang harus mengeluarkan shadaqah. Dan saya pun tak luput dari hal itu. Memang selalu ada halangan ketika kita akan berbuat kebaikan. Banyak sekali godaan-godaan yang malah mengarahkan kita untuk merasa lebih baik tidak ber-shadaqah. Dengan dalih ya sayang lah, diri sendiri juga masih merasa kurang lah dan berbagai alasan lainnya. Padahal jelas-jelas Allah menjanjikan yang lebih bagi setiap umatnya yang gemar ber-shadaqah.
Terkadang hal terberat atau menjadi ganjalan ketika kita akan ber-shadaqah adalah bingung harus memberi berapa atau nominal berapa yang pantas untuk shadaqah. Kita disibukkan dengan pikiran seandainya kita memberi dengan nominal kecil, malu lah diri kita ini. Dan seandainya memberi dengan nominal besar pun, takutlah kita akan dikatakan riya. Dan lebih celaka lagi kita malah batal untuk ber- shadaqah gara-gara berpikiran seperti itu. Memang godaan dari syaitan itu tidak pernah bisa berhenti. Kita yang sudah niat untuk shadaqah pun diganggu dengan pikiran-pikiran yang katakanlah konyol. Toh, jelas-jelas Islam mengajarkan untuk seikhlasnya dalam ber-shadaqah. Tak usahlah kita merasa ragu dan dilema. Shadaqah 100 perak pun Insya Allah mendapat pahala. Untuk itu biarkan saya menceritakan sebuah cerita. Cerita penuh hikmah (bagi saya) dari sahabat saya tentang ‘The Power Of Shadaqah’.
Pekerjaan saya sehari-hari adalah seorang guru SD. Saya mengajar di SD dekat rumah yang bisa ditempuh dengan berkendara sepeda motor selama kurang lebih 5 menit. Daerah tempat tinggal saya termasuk pedesaan. Mata pencaharian masyarakatnya kebanyakan petani dan buruh tani. Jadi, bisa dikatakan di daerah saya ini kebanyakan orang-orang berada di kelas ekonomi bawah. Kebetulan saat ini saya ditunjuk oleh Kepala Sekolah sebagai petugas Bantuan Siswa Miskin (BSM). Setiap semester saya selalu mengurus data-data siswa yang berhak mendapat BSM dari pemerintah. Hingga suatu hari saya bertemu dengan seorang sahabat. Sahabat saya ini pun kebetulan ditunjuk sebagai petugas BSM. Selama bertemu kami saling mengobrol dan berbagi informasi tentang proses pencairan BSM. Waktu itu dalam pencairan BSM ditentukan oleh masing-masing sekolah. Di sekolah saya sendiri hanya anak yang namanya ada dalam daftar yang berhak mendapat uang BSM tersebut. Nominal BSM itu sekitar Rp. 225.000 – Rp. 450.000. Dan orangtua anak tersebut dipersilakan untuk mengambil sendiri uang BSM di Bank.
Berbeda dengan proses pencairan di SD sahabat saya ini. Setiap nama anak yang mendapat BSM pada saat pencairan hanya petugas BSM yang mengambil uang di Bank. Uang tersebut ditampung terlebih dahulu oleh Guru yang diberi tanggung jawab sebagai petugas BSM. Uang tersebut kemudian dibagi sama rata untuk semua warga sekolah dan bagi anak yang terdapat namanya dalam daftar penerima BSM mendapat jatah yang lebih besar. Saat itu rinciannya untuk anak yang ada namanya dalam daftar mendapat Rp. 100.000/anak dan bagi anak yang tidak tercantum namanya dalam daftar akan mendapat Rp. 35.000/anak.
Pembagian BSM yang sama adil menurut saya. Di mana karena tidak semua anak mendapat BSM setidaknya yang tidak menerima pun mendapat jatah walau lebih sedikit. Dan sahabat saya ini bercerita bahwa ada salah satu orangtua murid yang bilang padanya bahwa ‘Alhamdulillah bisa mendapat uang BSM, dari dulu belum pernah mendapat BSM. Enak seperti ini Bu, semuanya bisa kebagian walau sedikit. Bisa untuk membeli keperluan anak membeli sepatu.’
Wow, saat itu saya hanya bisa diam membisu. Dan treyuh mendengar cerita sahabat saya ini. Bagaimana tidak? Jujur, bagi saya uang Rp. 35.000,- itu sama sekali tidak besar. Kecil. Untuk uang bulanan internet saya pun tidak cukup. Tapi, bagi sebagian orang nilai yang kecil itu begitu besar. Dan beliau dengan uang sekecil itu sangat bersyukur sekali. Dan bagaimana saya seperti tidak tertampar ketika diceritakan bahwa beliau sangat bahagia mendapat uang tersebut. Beliau penuh syukur dan bilang bahwa uang tersebut akan dibelanjakan untuk membeli sepatu pada saat kenaikan kelas. Ya ampun, sepatu apa coba yang harganya Rp. 35.000,-. Saya benar-benar merasa diri ini begitu sering tidak bersyukurnya dalam hidup ini. Saya memang bukan terlahir dari keluarga kaya raya. Tapi dari keluarga berkecukupan yang selalu terpenuhi segala kebutuhan sehari-harinya. Saya asli, merasa lemas mendengar cerita sahabat saya ini. Bahasa Jawa-nya les-lesan. Diri ini benar-benar merasa sangat hina.
Makanya, saya saat ini mulai belajar untuk ber-shadaqah. Berapapun nilainya. Sekecil apa pun saat itu uang yang saya punya. Karena dengan ber-shadaqah sendiri adalah tanda syukur kita pada Allah. Rasanya ketika saya memulai shadaqah, ada saja hal baik yang terjadi. Memang janji Allah itu tidak bohong. Dan sebagai pembersih dosa juga seandainya kita rajin ber-shadaqah.
Yuk, mari kita semua belajar untuk berbuat kebaikan dengan cara ber-shadaqah. Sekecil apa pun yang akan kita shadaqah-kan tidak masalah. Karena memang bagi sebagaian orang yang membutuhkan shadaqah kita yang kecil itu sangat besar dan berarti. :’)
“Tulisan ini diikutsertakan pada Monilando's Giveaway : Spread The GoodStory"




3 komentar:

  1. Semoga bs mensyukuri rezeki sekecil apapun ya mba.. Makasih inspirasinya :)

    BalasHapus
  2. sedekah memang banyak manfaatnya yah mbak :)

    BalasHapus
  3. wah iya mbak terima kasih sudah mengingatkan. salam kenal :)

    BalasHapus